Kerap merebaknya aktivitas para “Pedagang Kaki Lima” (PKL) nyaris sepanjang lintasan Jl. Merdeka termasuk di depan Toko Panca Logam Garut, selama ini sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas, bahkan bisa mengganggu ketertiban umum.
Padahal kegiatan perdagangan mereka itu, selama ini pula sama sekali tidak pernah dipungut retribusi, malahan pernah gencar ditertibkan dan penataan agar kembali memasuki komplek pasar tradisional Guntur Ciawitali, tegas Kepala UPTD pasar tersebut, H. Dayat, S.Sos kepada Garut News, Minggu.
Karena itu, diserukan agar para PKL dengan kesadaran sendiri bisa menertibkan diri, atau tidak hanya mau tertib jika “dibuburak” (ditertibkan paksa) oleh aparat, terkait kegiatannya dinilai illegal, imbuhnya.
Menyusul kualitas penataan serta kebersihan seluruh lingkungan Pasar Guntur Ciawitali akan terus dilakukan, termasuk selama ini dibenahinya saluran air maupun drainase pasar, tempat pembuangan sementara sampah dan ditingkatkannya kegiatan Pokja kebersihan IWAPA, katanya.
Kegiatan kebersihan juga digelar setiap Jum’at dengan menyertakan seluruh jajaran UPTD Pasar Guntur Ciawitali, yang memiliki 1.800 an kios serta 1.320 kios pada lokasi relokasi kaki lima, ungkapnya.
H. Dayat berobsesi, pasar tradisional ini bisa menjadi salah satu sarana wisata yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara maupun domestik.
Sedangkan mengenai maraknya pendirian mini market, masih dibahas dalam Raperda yang antara lain akan mengatur jarak lokasinya dari pasar tradisional maupun jarak antar mini market, katanya pula. ***(John).
PKL ini merupakan salah satu imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia. Mereka berdagang karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik, dan tidak adanya lapangan pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia harus berdagang di kaki lima.
BalasHapusDari sudut pandang filsafat ekonomi, PKL adalah antitesis dominasi korporatisme global yang mendominasi seluruh sudut kota dengan jaringan pertokoan ritel. Sebagai antitesis, PKL adalah manifestasi perlawanan dari si kecil melawan si besar, yaitu perlawanan pemodal kecil kepada pemodal besar yang mampu membangun pusat pertokoan di berbagai lokasi strategis dengan biaya mahal.
Bagi konsumen, PKL adalah solusi pemenuhan kebutuhan di tengah harga-harga yang melambung tinggi. Konsumen dengan daya beli rendah akan cenderung memilih barang-barang dari PKL dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja ada simbiosis mutualisme antara konsumen dan PKL. Dengan demikian, pemerintah sebagai pelayan masyarakat seharusnya tidak mengobrak-abrik PKL, tetapi memberdayakannya.
Dari sisi budaya, PKL adalah penyemarak kegairahan budaya, ekonomi, dan pariwisata suatu kota. Bukan sekadar penyemarak, PKL juga merupakan penanda atau ikon suatu perkumpulan, pesta, dan kerumunan massa. Lihat saja pasar tumpah di berbagai sudut kota pada hari Minggu, di mana banyak yang melakukan aktivitas pagi di pusat keramaian tertentu. Di Garut, keramaian itu terkonsentrasi di Lapangan Olahraga Kerkhof dan beberapa tempat lain.