Produk bioethanol, yang pabrik pengolahannya diresmikan Gubernur Jawa Barat, H. Ahmad Heryawan di Kampung Nagewer di Desa Cijambe Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut, Selasa (11/1) dinilai masih belum meyakinkan bisa prosfektif.
Menyusul dibelenggu beragam kendala, yang saat ini masih dirasakan mulai dari hilir hingga ke hulu, ungkap Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Setda Kabupaten Garut, H. Budiman, SE, M.Si kepada Garut News, Rabu.
Kendala di hulu, antara lain kesulitan mendapatkan bahan baku yang dapat memenuhi pasokan sesuai kebutuhan produksi serta akses pasar, juga ketersediaan tanah dan kesiapan petani mengembangkan komoditi kasava (singkong maupun ketela pohon).
Sedangkan kendala di hilir, diantaranya masyarakat belum meminati bioethanol sebagai substitusi dari BBM, akibat kegiatan sosialisasi yang belum efektif, diperparah harga jual tinggi melebihi harga bensin serta bahan bakar lainnya.
Kemudian pihak pengguna atau konsumennya, lebih layak bukan untuk masyarakat umum, melainkan oleh pabrikan atau produsen lain seperti perusahaan farmasi dan lain sebagainya.
Sehingga pemerintah dinilai perlu segera melakukan “redesain”, bagaimana upaya pengembangan bioethanol agar bisa menjadi substitusi bahan bakar minyak, ungkap Budiman mengingatkan.
Sebab, tidak hanya cukup termakan issue global krisis minyak berbahan baku fosil, tanpa dibarengi konsep yang “integrated” atau menyeluruh, maupun jangan hanya bersikap reaktif serta coba-coba, katanya.
Pabrik pengolahan bioethanol di Cikelet, memiliki kapasitas produksi awal 200 liter/hari, dengan harga jual berkisar Rp8 ribu hingga Rp9 ribu/liter.
Karena itu, Pertamina pun diharapkan bisa sebagai penyerap pasar, karena selama ini masih dihadapkan beberapa kesulitan teknis dan non teknis.
Pertamina juga seharusnya merangkul dan memberikan eksistensi juga bimbingan teknis, kepada para produsen, bahkan bersama pemerintah membuat regulasi, yang jelas serta bersifat “mengstimulan”, imbuhnya,
Pengembangan bioethanol oleh masyarakat, pernah dilakukan pada 2009 dengan bantuan dari Kementerian Perindustrian, yang dikerjasamakan secara lintas sektor antara lain dengan UNIGA, dengan tingkat kesulitan yang dihadapi sama.
Malahan Kelompok Swadaya Masyarakat, mengembangkan pula produk minyak kaliki di Leles, serta terdapat yang mengembangkan minyak jarak, mereka masih dihadapkan banyak kendala.
Maka masih perlu mencari alternatif solusi, yang tidak hanya bisa dilakukan oleh masyarakat, meski masyarakat juga perlu merancang ulang konsep bioethanol ini.
Namun Budiman berharap, ICMI dapat menemukan formulasi serta jurus-jurus, yang patut direspon dan diapresiasi, tentunya dengan belajar dari yang sebelumnya atau tidak berdiri sendiri, ujarnya.***(John).
0 comments:
Posting Komentar