Garut News, ( Rabu, 27/10 ).
Tragedi berupa malapraktek managemen kepegawaian Pemerintahan, di lingkungan Pemkab Garut, selalu kembali berulang menyusul selama ini nyaris belum pernah bisa mengalami perbaikan.
Sehingga penantian panjang publik, terhadap gebrakan reformasi birokrasi dengan diawali pengisian jabatan, ternyata sangat mengecewakan, maka masalah internal birokrasi yang bersifat strategis ini, mendistorsi upaya peningkatan pelayanan publik.
Bahkan juga mendistorsi implementasi misi ketiga Pemkab Garut, “Meningkatkan Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik dan Bersih, ” ungkap Sekretaris Korpri Kabupaten setempat, Drs M. Rakhmat, M.Si kepada Garut News, Rabu.
Dia katakan, dalam tulisan “telaahan staf”, yang ditujukan Kepada Bupati, Wabup, Sekda, Anggota Baperjakat serta Staf Akhli Bupati tertanggal 21 September lalu itu, dengan pokok persoalan “Permasalahan seputar pengangkatan jabatan”.
Telah disarankan untuk ditindaklanjuti, berupa “Dengan segala hormat mohon konsistensi dalam rangka implementasi misi ketiga Pemkab Garut”.
Antara lain dengan menerapkan “merit sistem”, dalam pengangkatan jabatan, serta memberikan support agar Baperjakat bekerja secara normatif, yang dipastikan para pegawai bisa menerima proses selektif jabatan, sepanjang dikembangkan perlakuan fair dan normatif, tegasnya.
Karena selama ini berlangsung pra anggapan, pengangkatan jabatan yang tidak didasarkan pada merit sistem, dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap soliditas organisasi, dan sangat memungkinkan munculnya respon negatif anggota organisasi dan publik.
“Kemudian capaian kinerja macam apakah, yang bisa diharapkan dari kiprah sebuah organisasi yang tidak solid ?,” ujar M. Rakhmat dengan nada tanya.
Sebab berdasarkan fakta dan data, diantaranya mengamati pelantikan pejabat pada Juni dan September lalu, ditengarai sebagian jabatan diisi pejabat dengan mobilitas vertikal terlampau cepat.
Padahal terdapat puluhan pegawai senior yang lebih layak, bahkan selain itu diketahui terdapat pejabat bermasalah justru dianugerahi promosi jabatan.
Maka pembahasan/analisis dari pengabaian aspek normatif tersebut, sepatutnya sesuai PP. 13/2003, Pengangkatan PNS dalam jabatan struktural, dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan tersebut.
Persyaratan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural ; Berstatus PNS, Serendah-rendahnya menduduki pangkat satu tingkat dibawah jenjang pangkat yang ditentukan, dan sekurang-kurangnya memiliki masa pangkat/golongan selama dua tahun.
Selain itu, memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan, Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam dua tahun terakhir juga Sehat jasmani dan rohani.
Sedangkan faktor yang perlu diperhatikan, Senioritas dalam kepangkatan, Usia, Pendidikan dan pelatihan jabatan, Pengalaman yang dimiliki, Integritas moral yang tinggi, Kemampuan Manajerial serta Profesionalisme yang tinggi
Tetapi dalam prakteknya, ketentuan tersebut tidak menjadi acuan utama. Unsur kedekatan, faktor “Like or dislike”, “pressure pihak luar” , dan entah pengaruh apa lagi, lebih mewarnai pengangkatan dalam jabatan.
Daripada pertimbangan daftar urut kepangkatan (DUK), prinsip profesionalisme, dan ketentuan normatif lainnya, mencermati pula banyak jabatan struktural di lingkungan Pemkab Garut diisi PNS “Yunior”.
Padahal ketersediaan PNS “Senior” (bahkan banyak diantaranya berkualifikasi S 2) sangat mencukupi, dan jika dilihat dari kapabilitasnya sesungguhnya lebih layak untuk dipromosikan.
STOK Pejabat eselon IV a yang mentok atau tak bisa naik pangkat lagi (Golongan IVa lebih dari empat tahun) cukup melimpah, begitupun pejabat eselon III a dengan pangkat IV b lebih empat tahun juga tidak sedkit, namun mengapa mereka tidak diberi kesempatan promosi ke eselon lebih tinggi?.
Kejanggalan lain, adanya jabatan Sekretaris pada beberapa Badan/Dinas dengan Eselon III a, diisi PNS dengan pangkat awal jauh lebih rendah daripada para Kabid, padahal eselon Kabid III b, lebih rendah daripada eselon Sekretaris.
Kitapun kesulitan menemukan argumen untuk membenarkan, apakah PNS berkategori yunior tersebut menorehkan prestasi luar biasa, sehingga ke pundaknya layak disematkan jabatan yang lebih tinggi?.
Dalam Pola Pengembangan Karir, berdasarkan uraian singkat diatas, kita dapat berpendapat, pengangkatan jabatan di lingkungan Pemkab.Garut, tidak sesuai dengan pola pengembangan karir yang wajar dan sehat.
Dalam hubungan ini, menyampaikan masukan mengenai pola pengembangan karir yang ideal, terasa janggal jika melihat kenyataan adanya pejabat bereselon IV a langsung melejit ke eselon III a .
Adapun pengisian jabatan eselon II b misalnya, sebaiknya diisi oleh pejabat yang sudah beberapa kali memangku jabatan eselon III a, bukan oleh pejabat yang riwayat jabatannya lebih sedikit.
Selanjutnya mempertanyakan, adanya Sekretaris Badan atau Kepala Kantor yang di mutasikan ke jabatan Kepala Bidang atau eselon ”III b “ lainnya, tanpa alasan yang jelas; padahal saat memangku jabatan lama cukup berprestasi.
Karenanya, Seleksi Jabatan semestinya berbasis Ketentuan sebagaimana tertuang PP 13/2003, analisis untuk menyeleksi calon pejabat alangkah baiknya menggunakan instrumen analisis yang terukur dan kuantitatip.
Dituangkan dalam metode scoring, adapun “item” penilaian mencakup usia, DUK, Pangkat/Golongan, masa kerja, pendidikan, diklat jabatan, “tour of area/duty”, prestasi kerja, pelanggaran, dan lain-lain.
Misalnya, seseorang pejabat dengan TMT Golongan IV b lima tahun mendapatkan skor lebih tinggi dari pejabat IV b dua tahun, begitu pula pejabat berusia lima puluh tahun sepatutnya memperoleh skor lebih tinggi dari pejabat berusia empat puluh tahun.
Pejabat berpendidikan S 2 tahun 1998 layak memperoleh skor lebih tinggi daripada pejabat bergelar S 2 lulusa 2010, adapun seorang pejabat yang pernah tujuh kali atau lebih di suatu eselon jelas memiliki skor lebih tinggi daripada pejabat yang hanya dua kali berpengalaman pada suatu eselon.
Seorang pejabat yang telah lulus seleksi, atau telah mengikuti suatu jenjang diklat struktural,tentunya mendapatkan skore lebih tinggi daripada pejabat yang belum mengikuti seleksi.
Sedangkan mengenai catatan pelanggaran , berfungsi sebagai faktor pengurang dari nilai kumulatif skor, sesungguhnya tidak terlalu sulit mendata “rating” para pejabat.
Dengan berbekal ketekunan dan ketelitian pengelola kepegawaian, informasi tersebut dapat diperoleh, terlebih lagi saat ini sistem informasi kepegawain berbasis “IT” telah tersedia.
Analis jabatan pun telah dimiliki Pemda; tetapi mengapa kebijakan pengangkatan jabatan acapkali menuai kontroversi ?????, “tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang” **** (John).
0 comments:
Posting Komentar