Oleh : Rakhmat
Saya terperanjat ketika secara kebetulan mendengar
hardikan
seorang pendemo dalam sebuah unjuk rasa
,
mengecam pelantikan pejabat di Lingkungan Pemkab Garut baru-baru ini
,
yang
ditengarai
sarat kepentingan dan melenceng dari norma kepegawaian yang berlaku.
Kasihan rakyat! ngangkat pejabat jangan serampangan! Teriaknya.Lho?
kemudian
apa hubungannya mutasi dengan rakyat? Ya, kalau demo menentang kenaikan BBM atau menentang kenaikan pajak tinggi tentu
bisa
segera dimengerti
.
Sebab
akibat yang ditimbulkannya bakal langsung menyusahkan rakyat banyak. Dengan gaya tepelajar ia berdalih sambil menyitir sebuah hadis “Apabila suatu jabatan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya.
”Selanjutnya, jangan
berharap rakyat memperoleh pelayanan
publik
yang memadai
jika
pejabatnya tidak becus menjalankan pekerjaannya.”.
Sebagaimana kita maklumi dalam kurun lima tahun terakhir ini
,
nampaknya rakyat telah melihat dan dapat menilai, bahwa penyelenggaraan pemerintahan Garut masih jauh dari ketaatannya pada prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik ( Clean and Good Governance
).
Sehingga dengan berat hati saya sampaikan bahwa perilaku koruptif di kalangan pejabat masih subur, pelayanan publik tak kunjung bagus, penegakan disiplin hanya fasih dan mengkilap didalam kata-kata.
Dengan bersemangat empat lima, para elite kita merumuskan visi misi sarat kata-kata bersolek, tapi enggan menjadi tambatan hati dalam perilaku kesehariannya.
Di era reformasi sekarang ini mungkin hanya sepuluh persen kabupaten
kota
yang adem ayem suasananya
.
Sembilan puluh
persen
sisanya menampilkan hari-hari tiada sepi
gejolak
unjuk rasa merespons rupa-rupa kebijakan elite birokrasi yang ngaco. Saya kira,
walau diiringi perasaan sedih,
Birokrasi Garut masuk kelompok yang Sembilan puluh prosen itu.
Dan jangan-jangan berada di barisan paling depan. Dan lebih jangan lagi, apabila relung batin mau menampung bisikan setan…”Tak apalah kan kita masuk kelompok mayoritas.!?
Apalagi malah memperkuat alibi “Tak apalah…. Dari dulu kan carut marut birokrasi sedikit atau banyak, sudah berlangsung dan sulit diberantas.”
Kendati pemahaman
publik
terhadap pengertian Reformasi Birokrasi terkesan sebatas pada mutasi pejabat, tetapi saya berusaha tidak melemahkan pendapatnya. Sebaliknya saya selalu membenarkan jalan pikiran waras, bahwa tidaklah mungkin
manajemen sumber daya aparatur (pegawai),
manajemen perencanaan, managemen keuangan, managemen pengawasan, dan managemen asset sebagai kisi-kisi reformasi birokrasi, dapat dioperasionalkan dengan baik jika digerakkan oleh orang yang salah karena penempatannya yang salah pula.
The wrong man in The Wrong Place. Duh, saya hanya bisa prihatin, mengapa elite Garut
begitu mudah
melupakan sejarah. Bukankah orang bijak melantunkan kalimat bermutiara “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah .”Astagfirullah hal adzim, pelajaran sejarah itu begitu dekat,
riwayatnya baru kemarin,
masih basah tintanya
.
Pelaku sejarahnya masih hidup,
tetapi mengapa kita alpa berhikmah dengan menggunakan kecerdasan spiritual untuk memperbaiki keadaan.? Saya cenderung yakin Mantan Bupati AS yang telah bertanggung jawab atas
riwayat
keterpurukan birokrasi Garut sejak Th 2004 sampai 2008
kemaren.
Merasa
kesal mencermati penerusnya yang seakan-akan kehilangan orientasi untuk memulihkan performa birokrasi. Rasa prihatin terus mengalir. Bukankah pada Th 2005 sampai 2008 Garut dipercaya untuk menyelenggarakan sebuah proyek managemen yang sangat mentereng bertitel “Sustainability Capacity Building For Decentralization Project (SCBDP) bersumber dari kocek ADB dan
dana pendamping
APBD bernilai sekitar “ empat belas em.!”
Tiada keraguan sedikitpun tentang bobot ilmiah dari seabreg kerja pikir berbiaya besar. Sayanganya kerja Tim SCBD cukup puas menghasilkan rekomendasi demi rekomendasi. Semestinya tidak usah sungkan proaktif mempersuasi elemen reformis supaya makin trengginas mendesak Pimpinan Daerah agar mau diajak” bener”.Mendadak selera humor saya kambuh…Oo rupanya SCBDP itu bahasa Sunda, kependekan dari “Saleresna Can Bisa Dipake Pemda. “
Sesungguhnya harapan public demikian menjulang terhadap duet kepemimpinan (Garut satu dan Garut dua) dari golongan Independen pertama di Jawa Barat, untuk segera melakukan pembenahan Birokrasi Garut yang jelas-jelas mengalami ketidakteraturan tata kelolanya. Namun gebrakan yang dinanti-nanti itu baru dilakukan pada pelantikan dan mutasi pejabat Mei 2010 ( berarti hampir satu setengah tahun sejak mengangkat sumpah sebagai bupati dan wakil bupati ).
Namun apa yang dapat kita simak? Ibarat pemain catur non master melawan grandmaster. memerlukan waktu lama berpikir, dan ketika hendak menggerakkan buah catur, ee salah langkah! Tak salah orang berkomentar seperti” mengatasi masalah dengan masalah.” Sebab pelantikan dan mutasi yang terjadi rasanya jauh dari pola pengembangan karir yang layak dan patut. Bagaimana tidak bergonjang ganjing …. seorang sersan ujug-ujug melejit jadi kapten, sementera para letnan terbengong-bengong seperti
” Pacar
ketinggalan kereta”
.( meminjam judul film Teguh Karya).
Sebagian orang bahkan sampai terheran-heran, yang belepotan masalah,
malah” dijeneungkeun”. Saur sepuh ti Cisewu mah “Nu Nya di Lain lain Nu lain di Nya Nya.” Saudaraku, camkanlah….jangan menganggap
kecil atau
sepele akibat yang ditimbulkan dari kebijakan yang tidak adil dalam pengangkatan pejabat.
Biarkan sajalah apapun respon public, badai besar badai kecil pun akhirnya pasti berlalu. Apalagi mati-matian bertahan dengan membandingkan peristiwa di negeri gajah putih Thailand sana, pemerintah Abhisit yang dikepung berbulan bulan oleh puluhan ribu pengunjuk rasa berkaos merah bahkan sampai jatuh korban delapan nyawa melayang,… toh sang PM tetap “haben nagen.”Bertahan tidak tumbang. Saya merasakan betul,
perasaan satu korps diantara pegawai
saat ini deras
meluntur; rasa empati menipis.
Bicara tentang imbauan senasib sepenanggungan dan kesetiakawanan kini terasa hambar cita rasanya. Jurus yang popular justru
selamatkan diri masing-masing (SDM).
Bagaimana nasib Yang lain?,… emang gue pikirin (EGP). Rasanya sulit berkelit untuk menutupi fakta terjadinya polarisasi di kalangan pejabat. Pegawai dan pejabat yang “agak idealis” ( yang idealis tulen kayanya nggak da yah…) merasa klop bergaul dengan yang “agak idealis” juga. Sedang yang gemar memburu jabatan selalu rajin “berkoordinasi” memperkuat barisannya.
Kekecewaan dan kegusaran sebagian pegawai
, kemudian menggumpal menjadi energy sakit hati yang menyuburkan hasrat memberontak. Sebagian dari mereka ditengarai” berjasa” membocorkan bau busuk beberapa oknum pejabat ke kaum pergerakan dan aparat penegak hukum. Melihat kenyataan demikian, saya kira sudah menjadi langka, rintihan
doa-doa tulus sesama pegawai untuk kemaslahatan dan kesusksesan bersama.
Walau saya bukan paranormal atau ahli hikmah, tapi rasanya “radar” saya sering mengendus “pedalaman” (meminjam istilah Pramoedya Ananta Tur) sebagian pejabat mendadak “berjingkrak” mengetahui kawannya sedang ditimpa kemalangan, seperti ditimpa sakit keras, atau sedang diringkus masalah hukum, sebab jabatan kosong bakal menanti dan …. perburuan harus dimenangkan…apapun caranya. Walaupun seharusnya pembuat kebijakanlah yang paling bertanggung jawab atas terjadinya krisis kepegawaian ini, tetapi sulitlah dibendung gelombang perasaan dongkol, iri, dan rasa permusuhan lainnya dari para pegawai yang dirugikan terhadap para pejabat yang meraih kekuasaannya lewat cara nyodok dan nyogok.
Dus, jika solidaritas sesama pegawai mengalami kerapuhan, lalu apakah masih pantas mengharapkan soliditas organisas birokrasi. Sedang di seberang sana, public sudah tak sabar mendamba birokrasi yang kuat, cerdas dan berkerohanian. Sungguh malu bicara soal solidaritas di kalangan pejabat; walaupun unsur kimianya mencukupi, tapi sulit menciptakan zat bernama solidaritas sejati.
Berbeda sekali dengan masyarakat bawah. Coba selami kehidupan para pemulung, pedagang asong, pedagang baso tahu keliling, dan yang kecil-kecil lainnya, rasa solidaritas itu jarang diucapkan, tapi dipraktekan dalam kesehariannya, walaupun ekonominya payah serba kekurangan.
Kembali ke soal kekacauan dalam pengangkatan jabatan,
Seorang kawan
membisiki saya,”Mat, nggak usah berprestasi lah…. percuma; cape gawe teu kapake.” Tapi insya Allah saya tak tergiur bujukan halus itu, karena rasanya gaji yang saya terima terlalu besar hanya untuk sekedar bekerja standar-standar saja. Lantaran kinerjanya mengecewakan, Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) lantas kehilangan wibawa.
Jangan kaget, kalau orang-orang dengan enteng mencemoohnya menjadi” Baperjahat.” Istilah yang kerap digunakan dalam proses seleksi pejabat, seperti” normative” diplesetkan menjadi “normal tip.” Istilah Fit and Propper test; diplintir menjadi” tes profit.
”
Memang dalam bangunan managemen kepegawaian, mutasi
dan pengangkatan jabatan
itu bagian kecil, namun saat ini( dalam konteks Garut) harus dimaknai terpenting
. Ibarat mata air
, kalau
tercemar, maka sungai yang melintas dan lingkungan alam di sekitarnya ikut ikutan rusak; sebaliknya jika mata airnya bersih, sehat, dan terawat tentu perikehidupan yang terangkai dengan mata air tersebut, akan selamat sentosa. Mari kita selidiki, musabab apakah
gerangan
yang membikin
wajah
pemerintahan kita
” nggak karuan-karuan”( meminjam istilah Gus Dur)
begini?
Secara umum, saya tidak perlu ragu menuding biangkeladinya adalah fenomena pilkadal mahal, tak rasional, kotor, dan pengawasannya merah padam. Diawalnya mengancam galak (merah ) tapi akhirnya sering dibereskan melalui jalan damai (padam).
Seiring dengan itu, kondisi ekonomi masyarakat yang amburardul turut menyumbang terjadinya demoralisasi politik di segala gelanggang managemen kekuasaan. Ijinkan saya beranekdot :
Supaya perut tidak keroncongan, lebih baik membela yang bayar, daripada membela yang benar.”Orang lapar kok disuruh jujur.” Dalam decade terakhir ini, panggung kekuasaan secara atraktif mempertontonkan aksi tipu tipu, pemimpin menipu rakyat dengan janji janji gombalnya, rakyat pura-pura menyenangkan pemimpin agar jor-joran bagi-bagi angpau.
Secara demikian, dapatlah dipahami, beban hutang akibat kapitalisasi politik, akan mewarnai perilaku pemimpin pilihan rakyat di era reformasi sekarang ini ( menyunting sindiran KH Tantowi Musaddad, sesungguhnya saat ini kita sedang berada pada masa “Era Teu Boga Kaera.”).
Para pemimpin segera dihinggapi penyakit amnesia permanen, lupa berat terhadap baiat sumpah jabatan yang diucapkan dengan khusuk. Pada akhirnya yang menjadi korban rakyat rakyat juga, sebab kue-kue pembangunan yang menjadi haknya, secara kuantitas maupun kualitas tidak sesuai dengan yang diharapkan, digerogoti untuk bayar utang sana sini, untuk balik modal dan nambah modal. Modal ekonomi dan modal politik.
Tentunya semua itu ditempuh melalui cara-cara tidak terpuji, dengan menggasak uang rakyat atau mengkomersilkan jabatan. Jabatan diperlakukan bak lapak atau jongko di pasar yang siap dijual atau dilelang. Rasanya mustahil seorang pejabat yang melejit lewat sogokan, akan ikhlas. Yang jelas, mata mereka segera jelalatan mencari “piduiteun”. Dan kalau terlena dan lengah, bukan tak mungkin akan kesandung perkara hukum.
Jika tak sampai hinggap di meja hijau siap siaplah diperlakukan seperti ATM oleh oknum aparat hukum bermental bejat. Darimana persediaan dana stanby, kalau bukan dari uang Negara, yang seharusnya diabdikan untuk rupa-rupa kebutuhan rakyat. Saya tidak menafikan bahwa seorang menjadi bupati memerlukan ongkos politik yang mahal.
Saya menyarankan kalaupun sampai mengimbau partisipasi bawahannya, mintalah pada pejabat yang memenuhi syarat dan layak, dalam jumlah yang layak pula. Hal ini penting untuk mengurangi kecurigaan khalayak, dan juga untuk mengurangi gangguan serius terhadap kinerja anggaran. Jauhkan keinginan meraup tarif tinggi dari calon pejabat tak layak; sebab selain akan memunculkan kecurigaan “money politic,” juga akan memacu tindakan koruptif pejabat yang bersangkutan.
Dari uraian di atas, maka instrument kepegawaian seperti daftar urut kepangkatan (DUK), rekam jejak (track record) dan sejenisnya, nampaknya tidak lagi menjadi syarat serius dalam program promosi. Hanya asesoris belaka. Uanglah yang berdaulat.
Jadi dengan menyelidiki carut marut birokrasi seperti itu, menyeret aparatur sibuk mengurusi masalah yang membelit dirinya sendiri. Kapan aparatur dan birokrasi seratus persen, sepenuh daya berikhtiar mensejahteraan masyarakat. Bukankah fikih kepemimpinan itu tiada lain amanat dipundak untuk kesejahteraan rakyat.
Carut marut ini tidak hanya mengganggu jalannya roda birokrasi pemerintahan, tetapi ternyata membuat” birokrasi masyarakat sipil” terganggu konsentrasinya dalam menjalankan misinya.
Kelompok tani yang seharusnya berkhidmat pada kreasi usaha tani yang tangguh, saking kesalnya mencermati ketidakadilan, ikut nimbrung pada issue-isue di luar tupoksinya. Juga LSM lainnya, entah LSM sejati atau jadi-jadian ( di luar LSM yang bergerak di urusan pengawasan birokrasi), ikut-ikutan merasa. paling sibuk menyuarakan penegakan moral birokrasi. Sedang kerjaan utamanya sendiri banyak terbaikan.
Era reformasi di satu sisi memperlihatkan kebangkitan luar biasa modal social bangsa kita dalam berdemokrasi; namun di sisi lain, dalam penerapan disiplin aparatur/kepegawaian justru kalah telak dibanding masa Orde Baru. Dulu, bila bupati lalai menempatkan atasan berpangkat lebih rendah dari bawahan ….kemudian ketiban sial…. ketahuan Badan Administrasi Kepegawaian atau Itwilprop, dijamin bakal heboh; dan sang bupati langsung terbirit-birit mengoreksi kebijakannya.
Di zaman” teu boga kaera ayeuna”, banyak pemimpin “ norek” terhadap suara kritis yang berdesing nyaring di telinga.”Khafilah menggonggong Anjing Berlalu.”Saya nyatakan tidak ada alasan gubernur atau bupati/walikota tak paham soal kepegawaian, terlepas dari latar belakang profesinya.
Atau mungkin KPU alpa mencantumkan soal kepegawaian dalam seleksi calon kepala daerah, sehingga kepala daerah terpilih lebih merasa sebagai raja daripada Pembina kepegawaian? Coba kita baca kata per kata semua aturan kepegawaian. Kita tidak akan menemukan kata “hak peogratif”,” user”, atau kalimat” jabatan itu kepercayaan dari atasan.” Artinya, dalam menetapkan pejabat, kewenangan kepala daerah tidak tak terbatas; tetapi dibatasi norma kepegawaian.
Sekarang ini, Suka atau tidak Garut dan banyak kabupaten/kota lainnya telah pantas menjadi pasien rumah sakit otononomi daerah. Sayangnya, rumah sakitnya dioperasionalkan oleh dokter-dokter yang sakit juga.
Pemerintah provinsi maupun Pusat yang berperan sebagai dokter, mungkin lebih serius sakitnya. Jadi, dengarkanlah saja sabda WS Rendra “Rakyat adalah sumber ilmu; belajarlah pada Rakyat.” Pejamkan mata, rebahkan jiwa ( meminjam Ebiet G Ade) dengarlah suara rakyat.! Masa sih anda tak mendengar teriakan rakyat seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini.?
Adalah tidak terlalu tepat beralasan bahwa melakukan reformasi tidak semudah membalikkan tangan. Saya kira cukup mengedipkan mata, asal bersiteguh pada sumpah jabatan’ Menghalalkan segala halal; mengharamkan segala haram. Please back to ethics, pak Haji.?
(Selesai).
0 comments:
Posting Komentar